Kotagede : “Lorong Waktu” Spiritualisme dan Romantisme Era Mataram

Kotagede : “Lorong Waktu” Spiritualisme dan Romantisme Era Mataram
Pelataran Masjid Gedhe Mataram (difoto oleh Faidah Kurnia Mukrianisa)

Kelanawisata.id, Yogyakarta - Di siang terik pasca shalat dzuhur berjamaah, Masjid Gedhe Mataram berdiri dengan gagah. Kayu-kayu kuat saling bertumpuk membentuk struktur kokoh saka guru dan tumpang sari bangunan masjid yang indah. Sepoi angin menembus dan menggugurkan 17 pohon sawo kecik yang berjejer tumbuh di halamannya.

Tujuh belas, tidak lebih dan tidak kurang, seperti jumlah rakaat shalat wajib dalam sehari. Pohon itu juga seolah berkata “sawu shuhufakum”, mengingatkan jamaah untuk senantiasa merapatkan shaf shalat. Orang Jawa dan simbolisme memang dua hal yang tidak bisa dilepaskan.

Masjid Gedhe Mataram berdiri di tengah Kotagede. Dahulunya, Kotagede merupakan ibukota pertama dari Kesultanan Mataram Islam. Dalam penataan kawasannya, Kotagede menggunakan prinsip penataan yang disebut catur gatra tunggal, yaitu kawasan kota yang terdiri dari komplek masjid, pasar, keraton, dan alun-alun.

Suasana menjelajah zaman di Kotagede tidak lepas dari dominasi bangunan dengan gaya akulturasi arsitektur Jawa-Hindu-Islam. Bentuk akulturasi dalam karya arsitekur ini dapat dirasakan dengan jelas terutama di komplek Masjid Gedhe Mataram dan makam raja-raja. Kompleks tersebut dikelilingi oleh tembok bata kuno, dengan gerbang paduraksa di beberapa sisinya. Gerbang paduraksa ini merupakan bentuk gerbang yang juga umum dijumpai pada bangunan pura di Bali.

Berjalan ke arah makam, kita akan mudah menjumpai orang-orang yang mengenakan beskap dan kemban. Di sini, banyak aktivitas spiritual yang dilaksanakan. Banyak orang yang mengerjakan ibadah di masjid serta berziarah di makam. Tidak jarang, pengunjung dapat menemui orang-orang ‘sakti’ yang menjadi perantara terkabulnya doa.

Keluar dari kompleks masjid, kita akan berjumpa dengan labirin rumah-rumah Loji bergaya Eropa milik para pedagang pribumi yang sukses. Kompleks rumah ini berdampingan dengan Pasar Kotagede. Bangunan rumah dan pasar ini membentuk lorong-lorong sempit dengan sudut-sudut dan belokan yang tidak terduga. Di sepanjang lorong ini juga banyak terdapat gapura serta tempat yang dikeramatkan.

Keheningan malam akan semakin memunculkan kesan romantis di malam hari. Apabila kita berjalan di antara lorong-lorong ini, kita akan disambut dengan lampu minyak tanah tradisional yang menghiasi lorong. Hal ini memberikan kesan bahwa kita berada di perpaduan era Eropa-Klasik dan Jawa Kuno.

Namun, kesan terhimpit ini rupanya memang terbentuk tak terbendung. Gelombang urbanisasi menekan bangunan-bangunan bersejarah di sana, menjadikan Kotagede sebagai kawasan padat penduduk. Peradaban baru yang berkembang membuat banyak rumah cagar budaya hilang dalam 20 tahun terakhir. Hal ini diakibatkan karena pemilik tidak dapat mendanai perawatan bangunan.

“Saya juga suka shalat Jum’at di Masjid Gedhe Mataram, Mba. Seperti kembali ke masa lalu” ujar bapak sopir ojek online yang membawaku pergi dari Kotagede. Pengalaman menjelajah waktu rupanya adalah ruh dari Kotagede. Nilai sejarah yang seakan hidup menjadi sesuatu yang tak ternilai dari kawasan ini. Sayang sekali, apabila peninggalan peradaban ini harus hilang tergerus zaman.